SALUS populi suprema lex esto, biarlah kesejahteraan rakyat menjadi hukum tertinggi. Frasa itu juga yang dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagai bangsa, itulah tujuan kita bernegara. Pertanyaannya kemudian adalah, kapan kesejahteraan rakyat itu tercapai? Pertanyaan tersebut saya pandang sebagai pertanyaan ideologis, namun sekaligus pragmatis.

Ideologis, karena upaya mencapai kesejahteraan tersebut hanya akan berakhir, dengan berakhirnya negara ini. Artinya, upaya itu harus terus-menerus dan tidak pernah berhenti, karena makna kesejahteraan itu sifatnya dinamis. Maka, pertanyaan pragmatisnya adalah sampai tahapan apa kesejahteraan tersebut telah dicapai.

Rakyat yang miskin pasti tidak sejahtera. Namun miskin, dalam arti pendapatan yang diperoleh tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, hanyalah salah satu indikator kesejahteraan. Bahkan Easterlin dalam risetnya 1974, telah menunjukkan kenaikan gross domestic product (GDP) tidak berkorelasi kuat dengan kebahagiaan. Situasi demikian, terjadi karena beberapa kemungkinan penyebab, di antaranya karena kenaikan GDP perkapita berkorelasi negatif terhadap lingkungan, kesehatan, pemerataan, dan lainnya (Rafael DI Tella and Robert MacCulloch, 2006). Intinya, tidak cukup memadai memandang kemiskinan hanya dari variabel pendapatan.

Dalam perspektif perkembangan teori ekonomi pembangunan, cara pandang kemiskinan hanya diukur dari pendapatan, sudah termasuk dalam Old Fashion Theory. Generasi teori yang lebih baru adalah yang kita kenal dengan Endogenous Growth Theory. Dalam perspektif teori endogenus ini, pendapatan hanyalah merupakan salah satu ukuran kesejahteraan, karena basis premisnya adalah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Dalam premis pertumbuhan berkualitas, kenaikan pendapatan harus disatu-pandangkan dengan kualitas pemerataan pendapatan dan kualitas hidup yang lain seperti perbaikan tingkat pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, demokrasi atau kemerdekaan, kualitas kelembagaan dan kualitas hidup yang lain.

Konsekuensi dari cara pandang teori ini, definisi kemiskinan lebih tepat mendasarkan pada batasan yang disampaikan Amartya Sen, ekonom India penerima Nobel Ekonomi. Definisi Amartya Sen ini pula yang digunakan oleh United Nations Development Programme (UNDP). Menggunakan cara pandang yang komprehensif sebagaimana cara pandang Amartya Sen ini, akan membantu kita menghindari terjadinya ‘lensa rabun jauh” (myopic), lebih substansial dari pada lebih terkesan sebagai retorika dan bias logika.

Indikator Multidimensi

Akhir-akhir ini ada diskusi cukup hangat di media baik luring maupun daring, terkait dengan kemiskinan. Pemicunya, adalah publikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jateng tentang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita Jateng dan provinsi lainnya di Jawa, yang dikaitkan dengan kemiskinan.

Bagi saya, hal tersebut tidak salah. Yang saya ragukan adalah apakah dalam diskusi tersebut juga mendasarkan cara pandang fundamental komprehensif. Jika tidak, sangat mungkin bias logika atas persoalan kemiskinan akan terjadi. Tentu saya juga akan mengatakan, isu dan cara pandang ini berlaku umum, tidak spesifik Jateng. Namun, saya akan menggunakan ilustrasi Jateng ini untuk berkontribusi membangun dan menerapkan cara pandang fundamental-komprehensif tersebut.

Pertama, PDRB perkapita memang dapat digunakan sebagai indikator kesejahteraan relatif suatu masyarakat secara agregat, tetapi tidak bisa digunakan sebagai indikator kemiskinan jika kemiskinan tersebut diukur dari batas pendapatan yang memadai untuk hidup layak. Itulah alasan perhitungan garis kemiskinan menggunakan pendekatan pengeluaran rata-rata. Namun sebagai ukuran kesejahteraan, tingginya GDP perkapita harus disatupandangkan dengan ukuran pemerataan pendapatan, katakanlah Indeks Gini (IG) sebagai ukurannya.

Pada 2021, PDRB Jateng mendasarkan harga berlaku (RP 38,6 juta) maupun harga konstan (RP 27,1 juta) yang terendah di provinsi di Jawa. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) misalnya, PDRB atas dasar harga berlaku RP 40,2 juta dan atas dasar harga konstan Rp 28,9 juta. Jika disatupandangkan dengan Indeks Gini, tahun 2021 Indek Gini Jateng 0,368 turun dari 0,372 di tahun 2020. Indeks Gini DIY tahun 2021 adalah 0,436 turun dari 0,441 tahun 2020. Bisakah dikatakan rakyat DIY lebih sejahtera, atau sebaliknya bisakah rakyat Jateng lebih sejahtera dari DIY? Jawabannya: Tidak.

Kedua, kemiskinan yang diukur dengan engeluaran, lebih menggambarkan daya beli rata-rata. Garis kemiskinan diukur dari batas minimal pengeluaran perkapita yang dianggap memadai untuk hidup layak berdasarkan perkembangan harga di masing-masing daerah. Karena itu, basis perhitungan tingkat kemiskinan adalah unit individual. Hal ini tentu tidak dapat disebandingkan dengan PDRB perkapita yang basis perhitungannya agregat atau keseluruhan wilayah. Pada 2021, tingkat kemiskinan Jateng memang cukup tinggi, yaitu 11,25%, sedikit di bawah DIY sebesar 11,91% dan di atas Jawa Timur (Jatim) sebesar 10,59%.

Ketiga, Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Seiring dengan perkembangan teori, UNDP pun juga mengadopsi pendekatan yang komprehensif dalam mengukur kemiskinan dengan menggunakan indeks multi-dimensi (Multidimensional Poverty Index: PMI). Pendekatan inilah yang dikenalkan oleh Amartya Sen, yang setahu saya juga diadopsi dalam RPJMD Jateng 2018-2023. Dalam pendekatan ini, kemiskinan dipandang bukan hanya dari dimensi pendapatan, melainkan juga pendidikan, kesehatan dan kualitas hidup lain.

Jadi, denan mendasarkan pada pendekatan multidimensi tersebut, tentulah tidak tepat mengatakan suatu daerah lebih miskin hanya karena PDRB perkapitanya rendah. Di samping konsepnya tidak tepat, juga karena tidak komprehensif dimensi yang digunakan dalam cara pandang kemiskinan. Itulah yang tadi saya katakan, kita aan terjebak pada retorika dan bias logika.

FX Sugiyanto, Guru Besar Ekonomi FEB Undip dan Ketua Laboratorium Studi Ekonomi Pancasila.
Artikel ini telah tayang di Suara Merdeka